Sunday, August 18, 2013

if i fell

“Hey!”

 “Halo!”

 “Kamu!”

Aku yang sedang mematung di ruang putih kala itu seketika tersentak. Mataku berlarian, kesana kemari. Ya, aku tak sanggup menangkap mata itu.

“Masih ingat aku?”

“Ini aku”

“…….”

Aku tidak ingat siapa dia. Tapi kehadirannya membuatku tak karuan. Jantungku berdegup kencang. Napasku seperti tercekat, membuatku tak bisa mengambil oksigen di udara. Bibirku terkatup. Seketika aku merasa sangat lumpuh. Ya, aku jatuh cinta pada mata itu.

Sedetik berlalu, dia langsung mengambil posisi duduk di sebelahku.

“Apa kabar?”

“……”

Lagi-lagi tak sepatah kata pun sanggup keluar dari mulutku. Aku hanya bisa menatap matanya, dalam. 

Dia tersenyum. Tanpa diduga dia langsung meraih tanganku, mendekatkan tubuhnya padaku, memelukku erat.

Mataku terpejam. Aku merasa seperti ada di rumah. Hangat dan nyaman. Aku tidak ingin lepas dari pelukan itu.

Dia mengeratkan lagi pelukannya, mengecup lembut keningku.

“Aku di sini, tak akan kemana-mana”

Sekuat tenaga aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu.

“Maaf, aku sepertinya pernah mengenalmu, tapi aku tidak ingat. Kita pernah bertemu dimana ya?”

Dia merenggangkan pelukannya, menatap dalam ke mataku, tersenyum sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya yang hangat di pipiku.

“Di mimpi, dan sekarang aku nyata”.


Monday, July 29, 2013

25.

Welcome to the quarter of the century.

25.

Tanggal 25 Juni 2013 saya genap berusia 25 tahun. Seperempat abad. Oh, I'm getting old!

Banyak yang bilang usia 25 itu adalah usia matang bagi para wanita untuk melepaskan masa lajangnya. 25 itu deadline bagi kebanyakan wanita untuk menikah. Saya pun dulu berangan-angan ingin menikah di usia 25, and yeah, I'm out of target.

Ketika memasuki usia 25, saya baru menyadari, angka itu bukan hanya semata angka yang tepat untuk menikah. Being 25 is about being true to your role as human being. Bagi saya, usia 25 adalah sebuah titik balik menjadi seorang manusia seutuhnya. Di usia seperempat abad, saya sudah mengalami banyak perubahan yang berarti, salah satunya tidak ada lagi figur seorang Papa yang menjaga saya, yang nantinya akan menjadi wali nikah saya. Tidak mudah menjadi seorang anak yatim di usia saya sekarang ini, saya hanya tinggal berdua dengan Mama yang seorang pensiunan swasta. Kakak saya sudah menikah 3 tahun yang lalu. Ada tanggung jawab yang lebih besar lagi, saya harus menjadi tulang punggung keluarga dan juga harus menjaga Mama yang sekarang sendirian, tanpa belahan jiwa di sisinya. *sigh*

Saya bersyukur di usia 25 tahun ini, saya masih dikelilingi orang-orang terkasih; Mama, kakak, saudara-saudara saya, sahabat-sahabat saya. Tak lupa mereka juga memanjatkan doa-doa yang terbaik untuk saya. I just can't thank them enough..



Last but not least, thank you RF, for always be there by my side :)

Lots of love,
Anye

Sunday, April 7, 2013

notes for papa


April the 7th, 2013.

Masih terekam jelas di ingatan saya, kala itu… beberapa hari setelah merasakan euforia kemenangan, masih dalam suasana yang fitri…

Tak seperti biasanya adik-adik Papa mengunjungi rumah kami sekedar silaturahmi. Papa yang terbaring lemah di tempat tidurnya, tampak memancarkan aura kebahagiaan ketika dikunjungi adik-adiknya, walaupun sebenarnya dia menahan sakit yang sudah dideritanya selama beberapa bulan belakangan. 

Senin, 20 Agustus 2012
Sehari setelah Lebaran, Papa kembali mengeluhkan sakitnya. Papa selalu terjaga dalam tidurnya, nafsu makan berkurang, muntah-muntah, sesak napas, pusing. Akhirnya Mama membawanya lagi berobat ke RS UIN. Selalu ada perasaan was-was setiap saya mendengar Papa pergi ke rumah sakit. Untungnya saat itu tidak sampai menjelang sore, Papa sudah kembali di rumah.

Selasa, 21 Agustus 2012
Hari itu seharusnya saya sudah kembali masuk kantor, tetapi karena saya pikir orang-orang kantor masih pada mudik, jadinya saya putuskan untuk extend liburnya. Keputusan saya ternyata tidak sia-sia, karena saat itu Papa minta diopname karena tubuhnya sudah merasa lemah sekali. Dengan menggunakan mobil kakak ipar saya, kami segera berangkat ke RS UIN.

Begitu sampai, Papa langsung dilarikan ke UGD. Saat itu saya menyaksikan dengan jelas, wajah Papa yang lemah tak berdaya, kakinya dingin menghitam dan membengkak. Papa batuk-batuk terus, di paru-parunya terdapat lendir sehingga dia merasa sulit untuk mengeluarkan riaknya. Penyakit diabetes yang sudah diderita Papa sejak tahun 1995, telah mengakibatkan komplikasi ke ginjal, paru-paru dan jantung.

Sorenya, Papa sudah terlihat lebih baik. Papa masih bisa berbicara, berinteraksi dengan sekelilingnya. Setelah semua yang menjenguk sore itu pulang, tinggalah kami bertiga; Papa, Mama dan saya sendiri. Papa yang tidak mau memakan makanan yang disediakan pihak rumah sakit meminta saya untuk membelikan bakpau. Biasanya di setiap rumah sakit itu selalu ada penjual bakpau, tapi kali itu tidak ada. Saya pikir mungkin masih dalam suasana lebaran, jadinya mereka tidak berjualan. Saya kembali ke kamar inap Papa di lantai 2, lalu Mama menyuruh saya membelikan roti isi daging di Holland Bakery. Dan begitu sampai disana, ternyata roti isi dagingnya sudah habis, hanya ada roti manis.

Sekitar pukul 9-an saya pulang ke rumah. Begitu sampai rumah saya sama sekali tak mengantuk. Saya sendiri di rumah, terjaga, dan agak lapar. Akhirnya saya memutuskan untuk memanggil salah seorang teman baik saya, Dewa, untuk menemani saya keluar mencari makanan. Setelah mencari-cari tempat yang pas untuk ngobrol, kami akhirnya memilih sebuah coffee shop yang berada di bilangan Gandaria. Dengan ditemani secangkir kopi hangat dan french fries, kami saling bertukar cerita sambil tertawa hingga tengah malam sampai saya merasa ngantuk.

Rabu, 22 Agustus 2012
Saya hanya tidur beberapa jam dan sudah terbangun sekitar pukul 7. Pagi. Saya langsung berbenah; membuat sarapan sendiri, mencuci piring, membereskan rumah, mengambil baju Mama untuk dibawa ke rumah sakit. Hari itu saya kembali tidak masuk kantor. Setelah mendapat SMS dari Mama, saya segera berangkat ke rumah sakit. Kondisi Papa mulai menurun. Dia sudah mulai error, susah bicara, serta susah bergerak. Dia tidak mau tiduran, dia hanya mau duduk di ujung tempat tidur.

Sampai di sana saya lihat Papa masih duduk di ujung tempat tidur. Matanya terpejam, badannya terasa kaku. Papa dirangkul oleh Tante Etty (adik Papa) sambil dibacakan shalawat. Saya hanya bisa terdiam, tanpa saya sadari hati dan pikiran saya kalut, keputusasaan mulai hadir membayangi saya. Mama lalu mulai memaksa Papa untuk membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Memang dasar Papa keras kepala, dia tetap tidak mau berbaring. Karena saya dan Mama tidak kuat membopong tubuh Papa, akhirnya saya menyuruh suster dan kakak ipar saya untuk membaringkan Papa di tempat tidur.

Sorenya kondisi Papa semakin menurun. Kesadarannya menghilang. Salah seorang dokter memanggil mama keluar. Begitu masuk kembali ke kamar, pecahlah tangis Mama. Saya pun tak kuasa menahan tangis. Mama bilang bahwa Papa harus dilarikan ke ICU dan harus segera cuci darah, tidak ada pilihan lain. Karena di RS UIN tidak ada fasilitas ICU, maka saya memutuskan mencari sendiri rumah sakit yang ada fasilitas ICU dan hemodialisa (cuci darah). Bersama dengan Om saya, saya pergi menyusuri jalanan Jakarta dengan menggunakan sepeda motor, mencari rumah sakit untuk Papa. Dari mulai RS Fatmawati, RS Pasar Rebo, RS Tebet, RS Pelni Petamburan dll semuanya tidak ada yang memenuhi kualifikasi. Sampai akhirnya pilihan jatuh pada RS JMC (Jakarta Medical Center) di daerah Warung Buncit. 

Kamis, 23 Agustus 2013
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 subuh, saya yang saat itu sudah sangat lelah dan hampir putus asa, masuk ke dalam RS JMC untuk mendaftarkan Papa di ICU. Sebelum Papa masuk, saya dipersilakan bertemu dulu dengan dokter jaga yang akan membaca surat rujukan dari RS UIN. Betapa hancurnya perasaan saya ketika dokter jaga itu bilang bahwa saya tidak usah berharap banyak karena kondisi Papa sudah terlalu parah, kemungkinan untuk sembuh sangat tipis sekali. Sekitar pukul 5 subuh Papa tiba di RS JMC, masuk UGD dulu, setelah itu baru dipindahkan ke ruang ICU. Saya hanya bisa menemui Papa pada jam 11 – 13 siang, dan jam 17 – 19 malam. Di ruangan dingin itu, dengan balutan selang infus serta alat pendeteksi jantung, Papa berjuang melawan sakitnya. Rasa lelah karena saya tidak tidur selama 30 jam hilang sudah ketika jam 11 tiba, karena pada jam itu saya bisa berinteraksi dengan Papa walau hanya sebatas monolog.

Jumat, 24 Agustus 2012
Satu hari sudah Papa berada di ICU, dan keadaannya tidak juga membaik. Tingkat kesadaran Papa sudah berada di angka 5 (kalau koma tingkat kesadarannya 3). Tapi saya terus berusaha positive thinking, saya terus mendoakan yang terbaik buat Papa. Satu per satu kerabat datang mulai dari tetangga, sepupu-sepupu Papa, teman kantor Papa, teman kantor Mama, teman kuliah saya. Mereka semua datang memberi support untuk saya dan keluarga, tak lupa mendoakan yang terbaik untuk Papa saya. Kehadiran mereka tak bisa dipungkiri telah memberikan dampak positif bagi saya. Dan ketika semua yang menjenguk satu per satu pulang, tinggal lah saya, Mama dan Bude saya. Sejak Papa masuk ICU, kami terjaga bersama. Rasanya tidur tidak pernah nyenyak, selalu dihantui perasaan takut dan was-was. Sampai pada suatu subuh…

Sabtu, 25 Agustus 2012
Kali itu saya tidur di bangku, Mama dan Bude saya tidur di lantai yang sudah dilapisi bed cover. Sekitar pukul 3 subuh, saya mendengar Mama dipanggil oleh salah seorang suster ke dalam. Tak lama setelah itu Mama keluar dari balik pintu dengan setengah menangis, memanggil saya untuk masuk ke dalam. Saya langsung ambil pakaian khusus ICU, masuk ke dalam ruangan, seketika saya membeku kala melihat langsung Papa saya sedang dipompa dadanya, dan saya melihat alat pendeteksi jantung sudah bergaris lurus. Sang suster bilang: “Bapak sudah nggak ada ya…”. Saya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya tangis yang bisa menggema di ruangan dingin itu.

Ada sesal yang tak kunjung hilang semenjak Papa pergi, bahkan sampai detik ini. Ada rindu yang terus mengingatkan kenangan-kenangan bersama Papa. Banyak mimpi yang belum bisa saya wujudkan untuk membuat Papa bangga. Masih ada janji yang belum terlaksana bersama. Saya menyadari inilah titik terlemah seorang manusia, ketika ditinggal pergi orang yang sangat kita cintai, untuk selamanya. 

Pah, send me your power from heaven.
Still keep your eyes on me, Pah.
I love you and always love you most :’)

 

Blog Template by YummyLolly.com