April the 7th, 2013.
Masih terekam jelas di ingatan
saya, kala itu… beberapa hari setelah merasakan euforia kemenangan, masih dalam
suasana yang fitri…
Tak seperti biasanya adik-adik
Papa mengunjungi rumah kami sekedar silaturahmi. Papa yang terbaring lemah di
tempat tidurnya, tampak memancarkan aura kebahagiaan ketika dikunjungi
adik-adiknya, walaupun sebenarnya dia menahan sakit yang sudah dideritanya
selama beberapa bulan belakangan.
Senin, 20 Agustus 2012
Sehari setelah Lebaran, Papa
kembali mengeluhkan sakitnya. Papa selalu terjaga dalam tidurnya, nafsu makan
berkurang, muntah-muntah, sesak napas, pusing. Akhirnya Mama membawanya lagi
berobat ke RS UIN. Selalu ada perasaan was-was setiap saya mendengar Papa pergi
ke rumah sakit. Untungnya saat itu tidak sampai menjelang sore, Papa sudah
kembali di rumah.
Selasa, 21 Agustus 2012
Hari itu seharusnya saya sudah
kembali masuk kantor, tetapi karena saya pikir orang-orang kantor masih pada
mudik, jadinya saya putuskan untuk extend
liburnya. Keputusan saya ternyata tidak sia-sia, karena saat itu Papa minta
diopname karena tubuhnya sudah merasa lemah sekali. Dengan menggunakan mobil
kakak ipar saya, kami segera berangkat ke RS UIN.
Begitu sampai, Papa langsung
dilarikan ke UGD. Saat itu saya menyaksikan dengan jelas, wajah Papa yang lemah
tak berdaya, kakinya dingin menghitam dan membengkak. Papa batuk-batuk terus,
di paru-parunya terdapat lendir sehingga dia merasa sulit untuk mengeluarkan
riaknya. Penyakit diabetes yang sudah diderita Papa sejak tahun 1995, telah
mengakibatkan komplikasi ke ginjal, paru-paru dan jantung.
Sorenya, Papa sudah terlihat
lebih baik. Papa masih bisa berbicara, berinteraksi dengan sekelilingnya.
Setelah semua yang menjenguk sore itu pulang, tinggalah kami bertiga; Papa, Mama
dan saya sendiri. Papa yang tidak mau memakan makanan yang disediakan pihak
rumah sakit meminta saya untuk membelikan bakpau. Biasanya di setiap rumah
sakit itu selalu ada penjual bakpau, tapi kali itu tidak ada. Saya pikir
mungkin masih dalam suasana lebaran, jadinya mereka tidak berjualan. Saya
kembali ke kamar inap Papa di lantai 2, lalu Mama menyuruh saya membelikan roti
isi daging di Holland Bakery. Dan begitu sampai disana, ternyata roti isi
dagingnya sudah habis, hanya ada roti manis.
Sekitar pukul 9-an saya pulang ke
rumah. Begitu sampai rumah saya sama sekali tak mengantuk. Saya sendiri di
rumah, terjaga, dan agak lapar. Akhirnya saya memutuskan untuk memanggil salah
seorang teman baik saya, Dewa, untuk menemani saya keluar mencari makanan.
Setelah mencari-cari tempat yang pas untuk ngobrol, kami akhirnya memilih
sebuah coffee shop yang berada di
bilangan Gandaria. Dengan ditemani secangkir kopi hangat dan french fries, kami saling bertukar
cerita sambil tertawa hingga tengah malam sampai saya merasa ngantuk.
Rabu, 22 Agustus 2012
Saya hanya tidur beberapa jam dan
sudah terbangun sekitar pukul 7. Pagi. Saya langsung berbenah; membuat sarapan
sendiri, mencuci piring, membereskan rumah, mengambil baju Mama untuk dibawa ke
rumah sakit. Hari itu saya kembali tidak masuk kantor. Setelah mendapat SMS
dari Mama, saya segera berangkat ke rumah sakit. Kondisi Papa mulai menurun.
Dia sudah mulai error, susah bicara,
serta susah bergerak. Dia tidak mau tiduran, dia hanya mau duduk di ujung
tempat tidur.
Sampai di sana saya lihat Papa
masih duduk di ujung tempat tidur. Matanya terpejam, badannya terasa kaku. Papa
dirangkul oleh Tante Etty (adik Papa) sambil dibacakan shalawat. Saya hanya
bisa terdiam, tanpa saya sadari hati dan pikiran saya kalut, keputusasaan mulai
hadir membayangi saya. Mama lalu mulai memaksa Papa untuk membaringkan tubuhnya
di tempat tidur. Memang dasar Papa keras kepala, dia tetap tidak mau berbaring.
Karena saya dan Mama tidak kuat membopong tubuh Papa, akhirnya saya menyuruh
suster dan kakak ipar saya untuk membaringkan Papa di tempat tidur.
Sorenya kondisi Papa semakin
menurun. Kesadarannya menghilang. Salah seorang dokter memanggil mama keluar.
Begitu masuk kembali ke kamar, pecahlah tangis Mama. Saya pun tak kuasa menahan
tangis. Mama bilang bahwa Papa harus dilarikan ke ICU dan harus segera cuci
darah, tidak ada pilihan lain. Karena di RS UIN tidak ada fasilitas ICU, maka
saya memutuskan mencari sendiri rumah sakit yang ada fasilitas ICU dan
hemodialisa (cuci darah). Bersama dengan Om saya, saya pergi menyusuri jalanan
Jakarta dengan menggunakan sepeda motor, mencari rumah sakit untuk Papa. Dari
mulai RS Fatmawati, RS Pasar Rebo, RS Tebet, RS Pelni Petamburan dll semuanya
tidak ada yang memenuhi kualifikasi. Sampai akhirnya pilihan jatuh pada RS JMC
(Jakarta Medical Center) di daerah Warung Buncit.
Kamis, 23 Agustus 2013
Waktu sudah menunjukkan pukul 4
subuh, saya yang saat itu sudah sangat lelah dan hampir putus asa, masuk ke
dalam RS JMC untuk mendaftarkan Papa di ICU. Sebelum Papa masuk, saya
dipersilakan bertemu dulu dengan dokter jaga yang akan membaca surat rujukan
dari RS UIN. Betapa hancurnya perasaan saya ketika dokter jaga itu bilang bahwa
saya tidak usah berharap banyak karena kondisi Papa sudah terlalu parah,
kemungkinan untuk sembuh sangat tipis sekali. Sekitar pukul 5 subuh Papa tiba
di RS JMC, masuk UGD dulu, setelah itu baru dipindahkan ke ruang ICU. Saya
hanya bisa menemui Papa pada jam 11 – 13 siang, dan jam 17 – 19 malam. Di
ruangan dingin itu, dengan balutan selang infus serta alat pendeteksi jantung, Papa
berjuang melawan sakitnya. Rasa lelah karena saya tidak tidur selama 30 jam
hilang sudah ketika jam 11 tiba, karena pada jam itu saya bisa berinteraksi
dengan Papa walau hanya sebatas monolog.
Jumat, 24 Agustus 2012
Satu hari sudah Papa berada di
ICU, dan keadaannya tidak juga membaik. Tingkat kesadaran Papa sudah berada di
angka 5 (kalau koma tingkat kesadarannya 3). Tapi saya terus berusaha positive thinking, saya terus mendoakan
yang terbaik buat Papa. Satu per satu kerabat datang mulai dari tetangga,
sepupu-sepupu Papa, teman kantor Papa, teman kantor Mama, teman kuliah saya.
Mereka semua datang memberi support
untuk saya dan keluarga, tak lupa mendoakan yang terbaik untuk Papa saya.
Kehadiran mereka tak bisa dipungkiri telah memberikan dampak positif bagi saya.
Dan ketika semua yang menjenguk satu per satu pulang, tinggal lah saya, Mama
dan Bude saya. Sejak Papa masuk ICU, kami terjaga bersama. Rasanya tidur tidak
pernah nyenyak, selalu dihantui perasaan takut dan was-was. Sampai pada suatu
subuh…
Sabtu, 25 Agustus 2012
Kali itu saya tidur di bangku,
Mama dan Bude saya tidur di lantai yang sudah dilapisi bed cover. Sekitar pukul
3 subuh, saya mendengar Mama dipanggil oleh salah seorang suster ke dalam. Tak
lama setelah itu Mama keluar dari balik pintu dengan setengah menangis,
memanggil saya untuk masuk ke dalam. Saya langsung ambil pakaian khusus ICU,
masuk ke dalam ruangan, seketika saya membeku kala melihat langsung Papa saya
sedang dipompa dadanya, dan saya melihat alat pendeteksi jantung sudah bergaris
lurus. Sang suster bilang: “Bapak sudah nggak ada ya…”. Saya sudah tidak bisa
berkata apa-apa lagi, hanya tangis yang bisa menggema di ruangan dingin itu.
Ada sesal yang tak kunjung hilang
semenjak Papa pergi, bahkan sampai detik ini. Ada rindu yang terus mengingatkan
kenangan-kenangan bersama Papa. Banyak mimpi yang belum bisa saya wujudkan
untuk membuat Papa bangga. Masih ada janji yang belum terlaksana bersama. Saya
menyadari inilah titik terlemah seorang manusia, ketika ditinggal pergi orang
yang sangat kita cintai, untuk selamanya.
Pah, send me your power from
heaven.
Still keep your eyes on me, Pah.
I love you and always love you
most :’)